Syekh Ibnu Atha'illah atau Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari (bahasa Arab: ابن عطاء الله السكندري) (lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/ 1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M) adalah tokoh Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di dunia dan di Indonesia.
- نسبه الشريف :
1. هو الإمام الكبير والصوفي الشهير مربي المريدين ومرشد السالكين العارف بالله الشيخ سعد الدين الجباوي الشيباني الجناني الإدريسي الحسني الحسيني قدس الله سره العزيز.فهو عريق الأصلين كريم النسبين فهو : سعد الدين بن العلامة الشيخ يونس الشيباني الشيبي المكي الحسني بن السيد عبد الله الشيباني الحسني (المهاجر من طرابلس الغرب إلى مكة المشرفة) بن سيدي يونس الشيباني (دفين جبل غريان في طرابلس الغرب) بن مولاي علي الشريف الجناني (نزيل أم جنان نواحي الأربعة في طرابلس الغرب )بن مولاي البحر الرائق كنز العلوم والحقائق صاحب الإمداد والعرفان السيد مؤيد الدين شيبان (صاحب الرواق في جامع الزيتونة بتونس) بن مولاي سعد الله الشهير بشيبان (دفين الزاوية الشيبانية الكائنة في قابس بتونس) بن مولاي عبد الرحمن الأكبر بن مولاي علي المحجوب (دفين مكناس بالمغرب) بن مولاي عبد الله دفين مراكش بالمغرب بن مولاي عمر الإدريسي (دفين فاس بالمغرب) بن صاحب الحظ الأوفر مولاي ادريس الأنور (دفين فاس بالمغرب) بن مولاي ادريس الأكبر الذي شرفه الله بفتح المغرب بن الإمام عبد الله المحض الشهير بالكامل الحسني بن الإمام الحسن المثنى بن الإمام الحسن السبط سيد شباب أهل الجنة عليه السلام بن الإمام أمير المؤمنين علي كرم الله وجهه من زوجته السيدة فاطمة الزهراء سيدة نساء العالمين بنت سيد الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد.
هذا نسب سيدنا سعد الدين الجباوي من جهة أبيه وأما من جهة أمه فهو بن السيدة العابدة الزاهدة أم الخير ولية الله عائشة بنت السيد أيوب بن السيد عبد المحسن بن السيد يحيى المكي بن السيد محمد المهدي المكي بن السيد محمد أبي القاسم بن السيد الحسن القاسم بن السيد الحسين الرضي المحدث بن السيد أحمد الأكبر الصالح بن السيد موسى الثاني بن السيد الإمام ابراهيم المرتضى بن السيد الإمام موسى الكاظم بن السيد الإمام حعفر الصادق بن السيد الإمام محمد الباقر بن السيد الإمام علي زين العابدين بن الإمام سيد شباب أهل الجنة أبي عبد الله الحسين الشهيد رضي الله عنه بن السيد الإمام أمير المؤمنين علي بن أبي طالب كرم الله وجهه من سيدة نساء العالمين السيدة فاطمة الزهراء رضي الله عنها بنت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.
Sheikh Saad al-Din al-Jabbawi al-Shaibani al-Janani al-Idrisi al-Hasani al-Husseini, semoga Tuhan menguduskan rahasia tersayangnya.Saad al-Din ibn al-Allamah Sheikh Yunus al-Shaibani al-Shaibi al-Makki al-Hasani ibn al-Sayyid Abdullah al-Shaibani al-Hasani (pendatang dari Tripoli di barat ke Mekkah yang terhormat) ibn Sidi Yunus al -Shaibani (pemakaman Jabal Gharyan di Tripoli al-Gharb) ibn Moulay Ali al-Sharif al-Janani (penghuni Umm Jinan di empat distrik Tripoli Al-Gharb (putra Moulay al-Bahr al-Ra'iq, khazanah ilmu dan fakta, pemilik perbekalan dan syukur, Sayyid Moayed al-Din Shayban (pemilik serambi di Masjid Zaytouna di Tunisia) ibn Moulay Saadallah, dikenal sebagai Shayban (tempat pemakaman Chaibani zawiya yang terletak di Gabes , Tunisia) ibn Moulay Abd al-Rahman al-Akbar ibn Moulay Ali al-Mahjoub (pemakaman Meknes, Maroko) bin Moulay Abdallah, dimakamkan di Marrakesh, Maroko, bin Moulay Omar al-Idrisi (pemakaman di Fez, Maroko) bin paling beruntung Moulay Idris al-Anwar (makam di Fez, Maroko) bin Moulay Idris al-Akbar, yang dihormati Tuhan dengan penaklukan Maroko, Ibn al-Imam Abd Allah al-Muhd, Hassani Ibn al-Imam Al-Hassan yang terkenal Al-Muthanna, putra Imam, Al-Hassan Al-Sibti, penguasa pemuda penghuni surga, saw, putra Imam Amirul Mukminin, Ali, semoga Tuhan memberkati wajahnya, dari istrinya, Sayyidah Fatima al-Zahra, Sayyidah Wanita Dunia, putri guru para nabi dan rasul, tuan kita Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Ini adalah silsilah Saad al-Din al-Jabbawi dari pihak ayahnya, dan dari pihak ibunya, dia adalah putra dari pertapa, wanita pemuja, Umm al-Khair, penjaga Tuhan, Aisha, sang putri al-Sayyid Ayyub, putra al-Sayyid Abd al-Muhsin, putra al-Sayyid Yahya al-Makki, putra al-Sayyid Muhammad al-Mahdi al-Makki, putra al-Sayyid Muhammad Abi al-Qasim bin al-Sayyid al-Hasan al-Qasim bin al-Sayyid Al-Hussein al-Radi, sang Muhaddith, putra al-Sayyid Ahmad al-Akbar al-Saleh, putra al-Sayyid Ahmad al-Akbar al-Salih, putra dari al-Sayyid Imam Musa al-Thani, putra dari al-Sayyid Imam Ibrahim al-Murtada, putra dari al-Sayyid Imam Musa al-Kazim, putra dari al- Sayyid I
Namanya lengkapnya adalah Taj al-Din Abu'l Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abd al-Karim ibn Atha 'illah al-Iskandari al-Syadzili adalah tokoh Tarekat Syadziliyah. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.[butuh rujukan]
Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.[1][2]
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktik sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abul Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abul Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah Tarekat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktivitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekadar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa, sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.[3]