Al-Hikam Pasal 194-202
“Rahasia Mengajar,
Memberi Nasihat Kebaikan”
من عَبَّرَ مِن بِساطِ احْسانِه اصْمَتـَتْهُ الاِساءةُ ومنْ عَبَّرَ مِن بِساطِاِحْساَنِ اللهِ اليهِ لم يَصْمُتْ اذاأساءَ
194. “Barang siapa menerangkan ilmu/mengajar dengan memandang bahwa keterangannya itu muncul dari kebaikan dirinya, maka dia akan terdiam jika berbuat salah/maksiat, dan siapa yang menerangkan ilmu/mengajar dengan memandang bahwa ilmu/keterangannya itu pemberian Allah padanya, maka ia tidak akan diam bila ia berbuat salah/dosa.”
Syarah
Hikmah ini menerangkan tentang orang yang mengajar/memberi nasihat tentang kebaikan dengan merasa bahwa dirinya sudah baik, dan merasa bahwa keterangannya itu hasil dari kebaikannya sendiri(yakni dia masih memandang dirinya sendiri), maka bila suatu saat dia tergelincir dalam dosa, dia akan merasa malu untuk memberi nasihat/mengajar orang lain, akan tetapi bila ia ketika memberi nasihat/mengajarkan ilmu pada orang lain itu hanya memandang bahwa ilmunya itu karunia dari Allah, ia tidak memandang dirinya, maka dia tidak merasa malu untuk menerangkan ilmu/memberi nasihat jika suatu saat ia tergelincir dalam dosa. Sebab berbuat kebaikan itu hanya semata-mata karunia dari Allah.
Syeih Abul-Abbas Al-Mursy ra. Berkata: Manusia itu terbagi menjadi tiga golongan. Pertama : golongan yang selalu memperhatikan apa-apa yang dari dirinya kepada Allah. kedua : Golongan yang selalu hanya ingat pemberian dan karunia dari Allah kepda dirinya. Ketiga : Golongan yang hanya memandang bhwa semua dari Allah kembali pada Allah.
Golongan pertama : selalu memikirkan kekurangan diri dalam menunaikan kewajibannya, sehingga selalu berduka cita.
Golongan kedua : selalu melihat semua itu adalah karunia dari Allah, maka ia selalu gembira.
Dan golongan ketiga : Telah lupa pada dirinya sendiri, hanya teringat bahwa semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah, maka semua terserah Allah.
Syeih Abul Hasan As-Syadzily ra. Berkata : Pada suatu malam saya membaca surat Qul-a’udzu birobbinnas hingga akhir surat. Tiba-tiba terasa bagiku bahwa : Syarril was-waasil-khonnaas, yang berbisik dalam hati itu ialah yang menyusup antara kau dengan Allah, untuk melupakan engkau dari karunia-karunia Allah, yang halus dan samar, dan mengingatkan engkau pada perbuatan-perbuatanmu yang jahat/dosa. Tujuannya untuk membelokkan engkau dari khusnud-dhon kepada su’udh-dhon terhadap Allah. Maka waspadalah. Beliau juga berkata : Seorang ‘Aarif itu ialah seorang yang telah mengetahui rahasia-rahasia karunia Allah didalam berbagai macam ujian bala’ yang menimpanya sehari-hari. Danjuga menyadari/mengakui kesalahan-kesalahanny didalam lingkungan belas kasih Allahkepadanya. Beliau berkata lagi : Sedikitnya amal dengan mengkui karunia Allah, itu lebih baik dari banyaknya amal dengan merasa kekurangan diri sendiri. Yakni seolah-olah mempunyai kekuatan sendiri untuk bikin baik, hanya sekarang belum baik, sehingga ia selalu berduka cita memikirkan bagaimana ia dapatnya lebih baik. Padahal seharusnya ia menyerah dan hanya meminta kepada Allah saja. sebab jika Allah belum memberi maka tetap tidak ada perubahan pada dirinya, berdasarkan pengertian ayat :
وَمنْ يَتَوكـَّلْ عَلى اللهِ فـَهُوَ حَسْبُهُ
(Dan siapa yang berserah diri kepada Allah, maka Allah sendiri yang akan mencukupi/ melengkapi kekurangannya.)
dan tiada daya upaya atau kekuatan , kecuali atas bantuan dan pertolongan Allah.
تـَسبِقُ اَنْوارُ الحُكمَاءِ اَقْوَالهُمْ فحَيْثُ صَارَالتَنْويْرُ وَصـلَ التّـَعْبيْرُ
195. “Nur ulama’ ahli hikmah(makrifat) itu selalu mendahului perkataan mereka, karena itu apabila sudah mendapat penerangan dari nur dalam hatinya, maka sampailah keterangan yang dikatakan mereka itu.”
Syarah
Ulama’ ahli hikmah(ahli makrifat) itu bila memberikan nasihat/keterangan akan bisa diterima oleh hati orasng yang mendengarkan,sebagaimana tanah yang tandus dan mati yang disirami dengan air hujan yang lebat, lalu orang yang mendengar bisa mengambil manfaat dari nasihatnya, itu semua dikarenakan mereka (‘arifiin) selalu berhubungan dengan Allah, dan minta taufiq dan hidayah dari Allah, dan hanya Allah yang mengatur kalimat yang keluar dari perkataannya, dan Allah yang mengatur pendengaran orang yang mendengarkan.
Rosulullah bersabda :
رأ ْسُ الحِكمةِ مَخافَةاللهِ
pokok dari segala hikmah itu ialah takut kepada Allah.
Ulama’ yang tidak takut kepada Allah, adalah ulama’ suu’ (penipu ummat). Siapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayah imannya, maka tidak bertambah dekatnya kepada Allah, bahkan bertambah jauh.
Allah berfirman :
(Sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah hanyalah para ulama’).
كُـلُّ كلاَمٍ يَبْرُزُ وَعَليْهِ كِسْوَةُ القَلبِ الذى مِنْهُ بَرَزَ
196. “ Setiap perkataan yang keluar itu pasti membawa corak bentuk hati yang mengeluarkannya.”
Syarah
Jadi apabila hati bersinar nurnya makaperkataannya pasti membawa nur juga,sehingga bisa diterima oleh hati orang yang mendengarkannya, berbeda orang yang hanya mengaku-aku (ahli hikmah), perkataan yang keluar itu membawa kegelapan, yakni tidak bisa di ambil manfaatnya (masuk telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri).
Dan lagi tiap-tiap tempat (wadah) itu pasti akan mengeluarkan yang terisi didalamnya,sebagai contoh :gelas atau lainnya yang terisi kopi, itu pasti yang dikeluarkan juga kopi, tidak mungkin air putih.
Ada seorang yang berkata : Mengapa sekarang hati oranr-orang tidak bisa khusyu’ dan matanya tidak bisa mencucurkan air mata. Maka di jawab oleh Syeih Muhammad bin Wasi’ : kemungkinan yang demikian itu penyebabnya dari kamu sendiri, sebab bila nasihat itu keluar dari hati yang ikhlas pasti masuk kedalam hati juga. Sebaliknya kalau hanya berupa kata-kata dilidah dan fantasi belaka, maka ia akan masuk telinnga kanan dan keluar lewat telinga kiri.
Syeih Abul Abbas Al-Mursy ra. Berkata: keadaan hamba itu hanya ada empat macam : Nikmat, bala’, taat, maksiat. Maka jika didalam nikmat kewajiban hamba bersyukur kepada Allah, dan jika menerima bala’ maka hamba harus bersabar, dan jika dapat melakukan taat harus merasa itu taufiq dan hidayah dari Allah, dan bila tergelincir dalam dosa/ maksiat maka harus meminta ampun(beristighfar).
منْ اُذ ِنَ لهُ فى التَّعْبيرِفُهمَتْ فـِىمسَامعِ الخَلقْ العِبارَتـُهُ وجُلِّيَتْ اِليهمْ اِشارَتُهُ
197. “Barang siapa sudah mendapat izin dari Allah untuk mengajar (menerangkan ilmu makrifat), maka keterangannya itu bisa difahami oleh pendengarnya, dan isyarat petunjuknya bisa diterima dengan jelas.”
Syarah
Maksud dari orang yang sudah mendapat izin dari Allah yaitu : orang yang mengajar/memberi nasihat itu Lillahi (karena Allah) wa Billahi (dan sebab bantuan/pertolongan Allah, wa Fillahi(dalam tuntunan hukum Allah).
Syeih Junaidy Al-Baghdady ra. Berkata : Kalimat/perkataan yang benar itu hanya yang diucapkan setelah mendapat izin, sebagaimana firman Allah :
“ Mereka tidak berkata-kata, kecuali yang diizinkan oleh Ar-Rohman (Allah) dan berkata dengan benar”.
Syeih Hamdun bin Ahmad bin Umaroh Al-qosshor ketika ditanya: Mengapa kata-kata orang dahulu jauh lebih berguna dari ajaran kita ini? Jawabnya : Karena mereka bicara /berkata untuk kemuliaan islam, dan keselamatan jiwa dan untuk mendapat keridhoan Allah. Sedangkan kita bicara untuk kemuliaan diri, dan mencari dunia, dan keridhoan penerima/pendengar (makhluk).
رُبَّماَ بَرَزَتِ الحَقَاءِـقُ مَكْسُوفََة َالاَنْوَارِ اِذاَلَمْ يُوءْذَنْ لكَ فِيهاَ بِالاِظهارِ
198. “ Terkadang ilmu hakikat itu tampak pudar /suram cahayanya jika engkau belum mendapat izin untuk mengeluarkan/ menerangkannya.”
Syarah
Yang dimaksud ilmu hakikat disini yaitu ilmu yang berhubungan makrifatullah.
Barang siapa yang belum sempurna sifat-sifatnya, dan belum mendapat izin untuk menerangkan Hakikat, dan bila ia menerangkannya pasti akan terlihat suram cahayanya, karena keluar dari lisan yang masih tertutupi kegelapan yaitu selain Allah. Dan ia sendiri masih diliputi sesuatu yang berlawanan dengan hakikat itu, yang akibatnya orang yang mendengarkan tidak faham dan bahkan yang mendengar akan ingkar dan menolak.
Syeih Abul Abbas al-Mursy ra. Berkata : Seorang Wali itu lebih dahulu telah dipenuhi oleh ilmu dan pemahamn ma’rifat, sehingga Hakikat itu menjadi keyakinan dan terlihat terang baginya. Karena itu jika mengeluarkan kalimat/perkataan seolah-olah mendapat izin dariAllah, dan kalimat/perkataan yang dikeluarkannya itu berhias keindahan yang bukan buatan, maka langsung diterima oleh pendengarnya.
عِبَارَتـُهمْ إمّاَلِفَيَضَانِ وُجْدٍ اَوْ لِقَصْدِ هِدَايَةِ مُرِيدٍ فالاوَّلُ حالُ السَّالِكِينَ والثانِى حالُ اَرْبابِ المِكْنةِ وَالمُحققينَ.
199. “Kata-kata/keterangan orang yang menerangkan (ilmu makrifat), itu ada kalanya muncul karena luapan perasaan dalam hatinya yang tidak dapat ditahan, atau karena tujuan memberi petunjuk pada murid. Yang pertama itu hal keadaan seorang salik, sedang yang kedua hal keadaan orang yang sudah matang dan mendalam dalam makrifatnya kepada Allah (ahli tahqiq).”
Syarah
Jika seorang salik (berjalan menuju Allah), itu berkata-kata/ menerangkan ilmu makrifat, yang bukan karena luapan apa yang dirasakan dalam hatinya, berarti ia hanya merupakan pengakuan yang palsu belaka, demikian pula orang yang mendalam ilmu makrifatnya (arbabul miknah),jika bicara tidak untuk memberi petunjuk kepada murid, berarti ia telah membuka rahasia yang tidak diizinkan. Yang seharusnya ia diam tidak bicara sebab ia selalu dalam adab terhadap Allah.
العِبَاراتُ قُوْتٌ لعَا ءـلةِ المُسْتَمِعِيْنَ، ليْسَ لكَ الاَّ ماَ انْتَ لهُ اٰ كِلٌ
200. “Keterangan (kata-kata yang berhubungan dengan ilmu makrifat), itu bagaikan makanan bagi yang mendengarkan (membutuhkannya), dan engkau tidak mendapat apa-apa kecuali apa yang engkau makan.”
Syarah
Pada kenyataan lahir bahwa warna dan bentuk makanan itu bermacam-macam(berbeda-beda), dan makanan yang cocok dengan seseorang kadang tidak cocok bagi yang lainnya karena bedanya watak dan selera, dan makanan itu yang berguna bagi tiap-tiap orang itu hanya yang dimakan. Begitu juga makanan yang bangsa maknawi, yang difahami dari ilmu makrifat itu juga berbeda-beda. Apa yang cocok dengan seseorang kadang tidak cocok untuk orang lainnya, sehingga suatu keterangan yang disampaikan kepada orang banyak/jamaah, itu terkadang berbeda juga pemahaman satu dengan yang lainnya, itu karena berbeda tujuannya.
Syeih Muhyiddin Muhammad Ibnu ‘Aroby ra. Berkata : Pada suatu hari kami mendapat undangan dari teman di Zuqoqil-qonadil di mesir, dan disitu bertemu dengan guru-guru, dan setelah hidangan dikeluarkan, disitu ada satu wadah dipakai untuk tempat kencing, tetapi karena sudah tidak terpakai lagi, maka dipakai juga untuk tempat makanan, maka setelah selesai orang-orang makan tiba-tiba wadah itu berkata : Karena kini aku telah mendapat kehormatan dari Allah untuk tempat makanan guru-guru ini maka mulai saat ini aku tidak rela dipakai tempat kotoran. Kemudian ia terbelah menjadi dua. Syeih Muhyidin bertanya kepada hadirin semua : apakah kalian semua telah mendengar? Jawab mereka : ya, kami mendengar ia berkata : sejak aku dipakai tempat makanan guru-guru, maka aku tidak mau menjadi tempat kotoran lagi. Syeih Muhyidin berkata : Tidak begitu katanya. Para hadirin bertanya : lalu ia berkata apa ? jawab Syeih Muhyidin : Demikian pula hatimu setelah mendapat kehormatan dari Allah dijadikan tempat Iman, maka janganlah rela ditempati najis-najis, syirik, maksiat dan cinta dunia.
رُبَّمَا عَبَّرَ عَنِ المَقَامِ مَنِاسْـتَشْرَفَ عَلَيْهِ، وَرُبَّمَا عَبّـرَ عَنْهُ منْ وَصَلَ اِليهِ وَذٰلكَ مُلتَبِسٌ الاَّ على صاحِبِ بَصيْرَةٍ
201. “ Terkadang orang yang menerangkan satu maqom (tingkat dalam kemakrifatan) itu orang yang ingin/akan sampai kepada maqom tersebut. Dan terkadang orang yang menerangkan/membicarakan maqom itu orang yang telah sampai kedalam maqom tersebut, dan yang demikian itu kabur (samar/tidak berbeda), kecuali bagi orang yang tajam mata hati (bashiroh)nya.”
Syarah
Hikmah ini sebagai lanjutan hikmah ke 199, yang perlu kita perhatikan ada orang yang menerangkan suatu maqom karena mengambil dari keterangan kitab, atau menghafal kata-kata para ulama’ shufiyyah, lalu diterangkan pada orang lain. Berbeda dengan orang-orang yang sudah sampai pada maqom itu, yang berbicara tentang maqom itu biasa saja,seperti berbicara tentang lainnya.
لاَيَنْبَغى للسَّالكِ اَنْيُعَبِّرَ عنْ واَرِدَتِهِ فَاِنَّ ذٰ لكَ يُقِلُّ عَمَلَهاَ فى قَلْبِهِ وَيَمْنَعُهُ وُجُوْدَ الصِّدْ قِ مع رَبِّهِ
202. “ Tidak layak bagi seorang salik menerangkan waridnya pada orang lain, sebab bisa mengurangi pengaruh warid dalam hati, dan menghalangi kesungguhannya kepada Allah Tuhannya.”
Syarah
Seperti keterangan-keterangan terdahulu tentang Warid yaitu : perkara yang diberikan Allah kepada hambanya yang berupa ilmu yang langsung dari Allah yang berhubungan dengan Tauhid.
Sebaiknya salik (orang yang berjalan menuju Allah) tidak menerangkan dan membuka waridnya kepada orang lain, kecuali pada guru Mursyidnya, karena bisa mengurangi atsarnya dalam hati sehingga tidak sempurna manfaatnya warid didalam hati, dan juga bisa menghalangi kesungguhannya kepada Allah, karena menerangkan Warid itu tidak lepas dari syahwat/kesenangan nafsu, nafsu merasa enak dan senang, yang bisa menjadikan kuat sifat-sifatnya nafsu. Yang demikian itu pandangannya belum bulat kepda Allah, tetapi masih selalu mengharap apa-apa dari makhluk. Dan lagi kalau ia bisa menyimpan rahasia Tuhan yang diberikan kepadanya, ia akan mendapatkan kepercayaan untuk rahasia-rahasia yang lebih besar selanjutnya.