AL-Hikam Pasal 257-261 Alam Mulki Dan Alam Malakut
Al Hikam Pasal 257-261.

 “ALAM MULKI DAN ALAM MALAKUT”

 
٭ جعلك فى العالم المتوسِّط بين ملكهِ وملكوته ليُعلِمَكَ جلالة قدرِكَ بين مخلوقاَتهِ واَنّـَكَ جَوْهَرة ٌ تَنْطوى عليكَ أصدافُ مُكَوَّناَتهِ ٭
257. “ Allah menjadikan kamu bertempat dalam alam pertengahan antara alam mulki dan alam malakut, supaya kamu tahu tentang kebesaran kedudukanmu diantara semua makhluk, dan supaya kamu tahu bahwa engkau itu permata yang didiliputi/ditutupi oleh wadah yang berupa alam ini.”
 
Alam mulki yaitu : alam yang bisa dilihat di dengar dan dirasa oleh panca indra.
Alam malakut yaitu : alam ghoib (sebaliknya alam mulki).
Manusia itu dijadikan Allah tidak melulu dari alam mulki atau dari alam malakut,  tapi perkumpulan dari keduanya, pada kenyataannya Allah menempatkan tubuh manusia berada di antara langit dan bumi (alam mulki), dan Allah juga menjadikan Ruh manusia yang bias menyimpan macam-macamnya asror (rahasia) alam ini(alam malakut). Itu sebagai tanda keagungan kedudukan manusia yang tidak diberikan pada makhluk lainnya.
 Syeih Abul Abbas Al-Mursy berkata : Isi alam ini semua bagaikan hamba/pelayan yang tunduk kepadamu hai manusia, sedangkan engkau hanya hamba Allah ta’ala semata-mata.
Tersebut dalam kitab-kitab Allah terdahulu Allah berfirman : Hai anak adam, Aku jadikan segala sesuatu untukmu dan Aku jadikan engkau untukku, karena itu jangan sibuk dengan apa yang sudah pasti datang padamu,  sehingga meninggalkan apa yang engkau dijadikan untuk-Nya.
Allah berfirman :
 هُوالذى خلقَ لكُم ما فىالارضِ جمِيعاً  
Dialah Allah yang menjadikan untuk kamu semua apa yang ada di bumi”.
Syeih Al-Wasithy menafsirkan ayat : Sungguh kami Allah telah memuliakan anak adam”(al-isro’70). Yakni : Kami serahkan kepada mereka alam seisinya supaya mereka  tidak bingung atau tertipu oleh sesuatu dan supaya manusia semata-mata beribadah /mengabdi kepada Allah.
 
Langit dan bumi(alam mulki) itu tidak akan muat apabila ditempati ruh, seperti hikmah berikut ini :
٭ إنّما وَسِعكَ الكونُ من حيثُ جِسمانيَّتِكَ ولم يسَعُكَ من حيثُ ثُبُوتروحانيَّـتِكَ ٭
258. “ Sesungguhnya alam (dunia) itu dapat muat/mencukupi engkau dari sudut jasmaniyahmu semata, tetapi kalau dari sudut ruhanimu dunia tidak  muat untuk kau tempati.”
 
Itu semua dikarenakan jasad/jasmaniyahmu itu sejenis dari alamnya bumi(mulki), dan disitulah letak hajat dan kebutuhan badan jasmanimu, sebaliknya rohaniyahmu itu sama sekali tidak sejenis dengan alam dunia ini, karena itu janganlah menggantungkan semua persoalan rohani pada dunia, seharusnyalah hanya berhubungan dengan Allah ta’ala.
Ringkasnya : manusia itu terdiri dari dua unsur :1. Jasmaniyyah dan 2. Ruhaniyyah.  jasmani dengan alam dunia itu sejenis,  jadi apabila jasmani memenuhi kebutuhannya dengan apa yang ada di bumi ini maka tidak akan rusak,  sebaliknya ruhani itu dengan makhluk didunia ini sangatlah berbeda dan tidak sejenis,  jadi ruh itu tidaklah pantas berhubungan dengan makhluk dunia ini, akan tetapi yang pantas itu berhubungan langsung dengan tuannya yaitu Allah Azza wajalla.
Syeih Ahmad bin khodzarowaih ketika ditanya : Amal apa yang lebih utama ? Jawabnya : Menjaga hati jangan sampai condong, menoleh kepada selain Allah.
 
٭ الكاءِنُ فى الكونِ ولم تُفتحْ لهُ ميادِينُ الغُيُوبِ مسجُونٌ بِمحِيطاَتهِ ومحصوْرٌ فى هيكَلِ ذاتهِ ٭
259. “ Orang yang ada di alam dunia ini dan belum dibukakan baginya luasnya alam ghoib (malakut), ia akan tetap terpenjara oleh apa yang meliputi dirinya (syahwat, nafsu dan kebiasaan dirinya),  dan akan terkepung oleh bentuk dirinya(kepentingan-kepentingan badannya).”
 
   Apabila seseorang belum dibukakan  dan belum mengetahui alam –alam rahasianya Allah/ alam malakut, maka ruhnya akan selalu terpenjara oleh akuwan/semua makhluk,  maka ia akan selalu terhijab dari Allah, walaupun ia alim dibidang ilmu  lahir, karena ilmu lahir tidak bisa mengeluarkan mereka dari penjara alam dunia.
Dalam kitab Quut Al-Qluub disebutkan : semua orang yang tidak dibukakan ilmu batin (ghoib), maka mereka golongan Ahlul yamin(kebaikan), dan orang-orang yang dibukakan ilmu batin merekalah orang yang dekat dengan Allah.
 
٭ اَنْتَ مع الاكواَنِ مالم تشهدِ المُكوِّنَ فاِذاَ شَهِدْتـَهُ كانَتِ الاكْواَنُ معكَ ٭
260. “ Engkau akan tetap terikat dengan akuwan (makhluk), selama engkau belum bisa melihat  Mukawwin (Dzat yang menciptakan makhluk), tetapi bila engkau sudah bisa melihat pencipta alam /makhluk, maka alam /makhluk akan tunduk kepadamu.”
 
   Selama manusia masih terikat dan terpenjara oleh akuwan/makhluk,  dan masih terkurung dalam bentuk dirinya, maka akwan akan menjadi pemimpinnya, dan ia akan selalu mencintai dan bergantung pada makhluk, sehingga dia jauh dari Tuhannya.  Sebaliknya apabila manusia sudah bisa melihat/menyaksiakan mukawwin (Dzat yang menciptakan makhluk),yakni: mereka sadar bahwa semua makhluk itu ada yang menciptakan, dan semua makhluk itu hanya bergantung pada penciptanya, mereka akan terbebas dari penjara dan ikatan makhluk(dunia), dan makhluk akan tunduk kepadanya, dan dia menjadi pemimpinnya, karena mereka hanya mencintai dan bergantung pada Tuhannya.
 
Dalam sebuah hadits qudsi diceritakan Allah ta’ala berfirman :  “Hai hambaKu, jadikanlah himmah tujuanmu hanya kepada-Ku, niscaya Aku cukupi segala hajat kebutuhanmu,  selama Aku dengan engkau, engkau menduduki sebagai hamba, dan selama engkau dengan Aku maka engakau ditempat yang dekat,  mintalah apa saja untuk dirimu.”
Syeih Abu Abdullah al-Jalla  berkata : siapa yang hasrat semangat tujuannya lebih tinggi dari alam benda (dunia), maka ia pasti sampai kepada Allah yang mencipta alam, tetapi siapa yang tujuannya hanya pada sesame makhluk maka tidakakan mandapatkan Tuhannya, sebab Allah maha mulia untuk dapat menerima dipersekutukan.
Syeih  As-Syibly berkata : Tidak pernah tergerak dalam hati orang yang mengenal Allahpencipta ala mini, sesuatu dari hal alambenda/makhluk. Yakni :seorang yang benar-benar telah mengenal Allah tidak merasa butuh dengan makhluk (dunia).
٭ لاَيَلزَمُ من ثـُبوُتِ الخـُصُوصِيَّةِ عَدَمُ وَصْفِ الْبشَرِيَّةِ، اِنَّمَا مثلُ الخـُصُوصِيَّةِ كَاِشْراَقِ شَمْسِ النَّهاَرِ ظَهَرَتْ فى الاُفُقِ وَليسَتْ مِنهُ، تاَرَةً تُشْرِقُ شُموُسُ أَوصاَفِهِ على لَيْلِ وُجُودِكَ وَتاَرَةً يَقبِضُ ذٰلكَ عَنْكَ فَيَرُدَّكَ اِلَٰى حُدُودِكَ فاَلنَّهاَرُ لَيْسَ مِنْكَ وَاِليكَ وَلٰكِنَّهُ واَرِدٌ عَلَيْكَ ٭
261. “ Sifat khususiyyah (kewalian)  yang diberikan kepada hamba itu tidak memastikan hilangnya sifat-sifat kemanusiaan (basyariyyah). Perumpamaan sifat khususiyyah itu bagaikan terangnya matahari diwaktu siang, yang tampaak di ufuk (ruangan antara langit dan bumi) tetapi bukan dari ufuk,  ada kalanya terbit nur cahaya sifat-sifat Allah yang diumpamakan cahaya matahari pada kegelapan kejadian wujudmu yang diumpamakan gelapnya waktu malam, dan ada kalanya dicabut yang demikian itu dari padamu, maka Allah mengembalikan kamu pada asal kejadianmu,  maka terangnya siang itu bukan dari kamu dan bukan kepadamu, tetapi ia dating kepadamu.”
 
Yakni: apabila seseorang diberikan sifat-sifst khususiyyah seprti kemakrifatan, kasyaf, bisa memerintah makhluk sesuai dengan kemauannya dan lain-lain, orang tersebut tidah pasti hilang sifat-sifat kemanusiaannya,  seperti hina,lemah, fakir, bodoh dan lain-lain. Dan juga tidak pasti menghilangkan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya seperti makan minum, pakaian, tempat tinggal dan lainnya. Sebab semua sifat sifat manusia itu perkara yang tidak bisa berpisah dari manusia.
   Sifat-sifat khususiyyah yang berikan Allah kepada hambanya, dan ditutupinya dengan nyatanya sifat-sifat kemanusiaan itu bagaikan cahaya matahari yang menerangi ufuk/ ruangan antara langit dan bumi, apabila matahari belum bersinar maka akan gelap gulita dan tidak ada cahaya, dan ketika matahari memancarkan cahayanya lagi maka akan kembali terng benderang. Begitu juga nur Rububiyyah yang ada di hati manusia, ketika  Allah memberikan sifat khususiyyah kepada hambanya, maka hamba itu akan kelihatan mempunyai khususiyyah, dan nur khususiyyah akan menerangi wujud kemanusiaannya, dan begitu sebaliknya. Yakni apabila hamba menerima nur tajalli  maka akan tampak keluar dari padanya sifat-sifat Allah yang menerangi dzat (basyariyyahnya), tetapi bila ditarik kembali nur tajalli itu, maka kembalilah sifat-sifat yang asli pada  manusia. Jelasnya sifat khususiyyah (keistimewaan/kewalian) itu bukan sifat asli manusia, hanya sifat yang diberikan Allah kepadanya.