AL-Hikam Pasal 141-143 Wushul Itu Sebab Karunia Dari Allah Dan Ditutupinya Cela Kita

Al-Hikam Pasal 141-143

“Wushul Itu Sebab Karunia Dari Allah Dan Ditutupinya Cela Kita”


ولولا انك لاتصل اليه الابعد فناء مساويك ومحودعاويك لم تصل اليه ابدا ولكن اذااراد ان يوصلك اليه غطى وصفك بوصفه ونعتك بنعته فوصلك اليه منه اليك لابمامنك اليه

141. “Andaikata engkau mempunyai anggapan tidak akan sampai kepada Allah(wushul), kecuali setelah habis lenyap semua dosa-dosa dan kotoran hatimu, niscaya kamu tidak akan sampai (wushul) kepada Allah selamanya. Tetapi jika Allah menghendaki menarik menyampaikan kamu kepadaNya,Allah akan menutupi sifatmu dengan sifatNya,dan kekuranganmu dengan karunia kekayaanNya, Allah menyampaikan kamu kepadaNya dengan apa yang diberikan Allah kepadamu,bukan karena amal perbuatanmu yang enkau hadapkan kepadaNya”

Syarah

Syeikh Abul-Hasan As-syadzily ra. berkata: seorang waliyullah itu tidak akan sampai kepada Allah,jika ia masih ada syahwat/kesenangan nafsu, atau masih mengatur dirinya atau masih usaha ikhtayar(memilihkan dirinya).seumpama Allah membiarkan hambanya dengan pilihannya,pengaturannya atau kesenangan nafsunya sendiri, maka hamba selamanya tidak akan wushul(sampai kepada Allah) jika Allah akan menarik dan segera menyampaikan hambanya, maka di tampakkan padanya sifat-sifat Allah. Sehingga mati kehendak dan ikhtiyar usaha sendiri, dan segera menyerah pasrah kepada Irodah dan keputusan pemberian Allah. Maka dengan itu ia sampai kepada Allah karena tarikan Allah, bukan karena amal usahanya sendiri, Wushul karena karunia Allah bukan karena ibadah dan taatnya kepada Allah.


لولا جميل ستره لم يكن عمل اهلا للقبول

142.”Andai kata tidak ada baiknya tutup dari Allah (andaikata Allah tidak menutupi kekurangan dan kesalahan dalam semua amal hamba) niscaya tidak ada amal yang layak untuk diterima”.

Syarah

Sebab syarat untuk diterimanya amal itu adalah ikhlas, tulus kepada Allah,tetapi manusia diuji dengan sombong diri, merasa sudah cukup amalnya, dan lebih jelek lagi bila ia riya’ dengan amalnya,dan mengharap pujian atas amal perbuatannya. Karena demikian watak tiap hamba, maka sulit untuk diterima amal perbuatannya, kecuali hanya mengharap rohmat karunia Allah semata.

Syeih Abu-Abdullah Al-Quraisyi berkata: Jika Allah menuntut mereka tentang keikhlasan, maka lenyaplah semua amal perbuatan mereka, maka apabila telah lenyap semua amalnya, bertambahlah hajat kebutuhan mereka, maka dengan itu mereka lalu melepaskan diri dari bergantung kepada segala sesuatu, dan apabila ia telah bebas dari segala sesuatu kembalilah mereka kepada Allah dalam keadaan bersih dari segala sesuatu.

Jadi para murid/salik dalam perkara wushul kepada Allah, itu harus bergantung pada anugerah dan pemberian Allah. Jangan sampai mengandalkan amal ibadahnya sendiri.


انت الى حلمه اذا اطعته احوج منك الى حلمه اذاعصيته

143. “Engkau lebih membutuhkan kesantunan, maaf dan kesabaran Allah ketika engkau berbuat taat (ibadah), melebihi dari pada kebutuhanmu ketika engkau berbuat maksiat/dosa”.

Syarah

Kemuliaan seorang hamba hanya ketika bersandar diri kepada Tuhannya. Dan hina/jatuhnya seorang hamba bila ia telah melihat dan berbangga dengan dirinya sendiri. Sedang manusia ketika berbuat taat, merasa dirinya sudah baik lalu bangga dengan amal perbuatannya sendiri, sombong dan merendahkan orang lain. Padahal amal perbuatannya jika dikoreksi keikhlasannya tidaklah mungkin akan diterima, bahkan amal itu semua hanyalah amal yang palsu dan tidak ada harganya disisi Allah.

Allah telah menurunkan wahyu kepada seorang NabiNya: “ Beritahukan kepada hamba-hambaKu yang shiddiqin(sungguh-sungguh dalam beribadah kepadaKu), janganlah kamu tertipu oleh kesombongan dengan amal perbuatanmu itu, karena apabila Aku menegakkan benar-benar keadilanKu pasti Aku akan menyiksa mereka mereka dan bukan suatu kedholiman terhadap mereka. Dan katakana kepada hamba-hambaku yang telah berbuat dosa, : Jangan kamu berputus asa dari rahmatKu, sebab tidak ada suatu dosa yang tidak dapat ku ampunkan.

Syeih abu-Yazid al-Busthomy berkata: Taubat karena berbuat maksiat itu cukup hanya sekali, sedangkan taubat setelah berbuat taat harus seribu kali, sebab taat yang diliputi oleh ‘ujub, sombong itu berubah menjadi maksiat yang besar, dan orang tidak akan menyadarinya. Sebagaimana jatuhnya iblis dari singgasananya.