بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ﴿٦﴾
yā ayyuhallażīna āmanū in jā`akum fāsiqum binaba`in fa tabayyanū an tuṣībụ qaumam bijahālatin fa tuṣbiḥụ 'alā mā fa'altum nādimīn
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (6)
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ فِيْكُمْ رَسُوْلَ اللّٰهِ ۗ لَوْ يُطِيْعُكُمْ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنَ الْاَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ اِلَيْكُمُ الْاِيْمَانَ وَزَيَّنَهٗ فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الرَّاشِدُوْنَۙ ﴿٧﴾
wa'lamū anna fīkum rasụlallāh, lau yuṭī'ukum fī kaṡīrim minal-amri la'anittum wa lākinnallāha ḥabbaba ilaikumul-īmāna wa zayyanahụ fī qulụbikum wa karraha ilaikumul-kufra wal-fusụqa wal-'iṣyān, ulā`ika humur-rāsyidụn
Dan ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, (7)
فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَنِعْمَةً ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ﴿٨﴾
faḍlam minallāhi wa ni'mah, wallāhu 'alīmun ḥakīm
sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (8)
Imam Ahmad dab lainnya meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Harits bin Dhirar Al-Khuza’I yang berkata, “Suatu ketika, saya mendatangi Rasulullah. Beliau pun menyeru saya masuk Islam dan saya menyambutnya. Setelah itu, beliau menyeru saya untuk membayar zakat dan saya langsung menyetujuinya. Saya kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan saya kembali ke tengah-tengah kaum saya agar saya dapat menyeru mereka kepada Islam dan menunaikan Zakat. Bagi mereka yang memenuhi seruan saya itu maka saya akan mengumpulkan zakat mereka. Setelah itu, hendaklah engkau mengutus seorang utusanmu ke Iban dan disana saya akan menyerahkan zakat yang terkumpul tersebut.” Setelah Harits menghimpun zakat dari kaumnya, ia lalu berangkat ke Iban. Akan tetapi, sesampainya disana ternyata ia tak menemukan utusan Rasulullah. Harits langsung menyangka bahwa telah terjadi sesuatu yang membuat (Allah dan Rasulullah) marah kepadanya. Lalu ia mengumpulkan para pemuka kaumnya dan berkata, “Sesngguhnya Rasulullah sebelumnya telah menetapkan waktu di mana beliau akan mengirimkan utusan untuk menjemput zakat yang telah saya himpun ini. Rasulullah tidak mungkin mungkir janji. Utusan beliau tidak mungkin tidak datang kecuali disebabkan adanya sesuatu yang membuat beliau marah. Oleh sebab itu, mari kita menghadap kepada Rasulullah.” Sementara itu, Rasulullah mengutus Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat dari kaum Harits. Namun, ketika baru berjalan beberapa lama, timbul perasaan takut dalam diri Walid sehingga ia kembali pulang (ke Madinah). Sesampainya di hadapan Rasulullah, ia berkata, “Sesungguhnya Harits menolak untuk menyerahkan zakat yang dijanjikannya. Bahkan, ia juga bermaksud membunuh saya.” Mendengar hal itu, Rasulullah segera mengirim utusan untuk menemui Harits. Ketika melihat utusan itu, Harits dan kaumnya dengan cepat menghampiri mereka seraya bertanya, “Kemana kalian diutus?” Utusan Rasulullah itu menjawab, “Kepadamu.” Harits bertanya, “Kenapa?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Walid bin Uqbah kepadamu. Akan tetapi, ia melaporkan bahwa engkau menolak menyerahkan zakat dan juga bermaksud membunuhnya.” Dengan kaget, Harist menjawab, “Demi Allah yang mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran, saya sungguh tidak melihatnya dan ia tidak pernah mendatangi saya.” Pada saat Harits menemui Rasulullah, beliau langsung berkata, “Apakah engkau memang menolak untuk menyerahkan zakatmu dan juga bermaksud membunuh utusan saya?” Ia menjawab, “Demi Zat yang mengutus engkau dengan membawa kebenaran, saya tidak pernah melakukannya.” Tidak lama berselang, turunlah ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya,...” hingga ayat 8, “Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” Para perawi hadits ini adalah orang-orang terpercaya.
Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkan hal serupa dari Jabir bin Abdullah, Alqamah bin Najiyah dan ummu Salamah. Selain itu, Ibnu Jarir juga, meriwayatkannya dari Al-‘Ufi dari Ibnu Abbas.