Muhammad bin Ishaq Abu Bakar bin Khuzaimah an Naisabury
صحيح ابن خزيمة ١٧١٩: نا زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى بْنِ أَبَانَ الْمِصْرِيُّ، ثنا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، ثنا الْمُفَضَّلُ بْنُ فَضَالَةَ، حَدَّثَنِي عَيَّاشُ بْنُ عَبَّاسٍ، ح، وَثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حَمْزَةَ، ثنا يَزِيدُ بْنُ خَالِدٍ وَهُوَ ابْنُ مَوْهَبٍ , ثنا الْمُفَضَّلُ بْنُ فَضَالَةَ، عَنْ عَيَّاشِ بْنِ عَبَّاسٍ الْقِتْبَانِيِّ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ حَفْصَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ رَوَاحُ الْجُمُعَةِ , وَعَلَى مَنْ رَاحَ الْجُمُعَةَ الْغُسْلُ» قَالَ أَبُو بَكْرٍ: هَذِهِ اللَّفْظَةُ: «عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ رَوَاحُ الْجُمُعَةِ» مِنَ اللَّفْظِ الَّذِي نَقُولُ: إِنَّ الْأَمْرَ إِذَا كَانَ لِعِلَّةٍ فَالتَّمْثِيلُ وَالتَّشْبِيهُ بِهِ جَائِزٌ مَتَى كَانَتِ الْعِلَّةُ قَائِمَةً فَالْأَمْرُ وَاجِبٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا عَلَّمَ أَنَّ عَلَى الْمُحْتَلِمِ رَوَاحَ الْجُمُعَةِ؛ لِأَنَّ الِاحْتِلَامَ بُلُوغٌ , فَمَتَى كَانَ الْبُلُوغُ وَإِنْ لَمْ يَكُنِ احْتِلَامٌ وَكَانَ الْبُلُوغُ بِغَيْرِ احْتِلَامٍ , فَفَرْضُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ بَالِغٍ وَإِنْ كَانَ بُلُوغُهُ بِغَيْرِ احْتِلَامٍ , وَلَوْ كَانَ عَلَى غَيْرِ أَصْلِنَا وَكَانَ عَلَى أَصْلِ مَنْ خَالَفَنَا فِي التَّشْبِيهِ وَالتَّمْثِيلِ , وَزَعَمَ أَنَّ الْأَمْرَ لَا يَكُونُ لِعِلَّةٍ , وَلَا يَكُونُ إِلَّا تَعَبُّدًا , لَكَانَ مَنْ بَلَغَ عِشْرِينَ سَنَةً وَثَلَاثِينَ سَنَةً وَهُوَ حَرٌّ عَاقِلٌ , فَسَمِعَ الْأَذَانَ لِلْجُمُعَةِ فِي الْمِصْرِ أَوْ هُوَ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ رَوَاحُ الْجُمُعَةِ إِنْ لَمْ يَكُنِ احْتَلَمَ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَ أَنَّ رَوَاحَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمُحْتَلِمِ , وَقَدْ يَعِيشُ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ السِّنِينَ الْكَثِيرَةَ فَلَا يَحْتَلِمُ أَبَدًا , وَهَذَا كَقَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ النور: 59 ، فَإِنَّمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالِاسْتِئْذَانِ مَنْ قَدْ بَلَغَ الْحُلُمَ , إِذِ الْحُلُمُ بُلُوغٌ , وَلَوْ لَمْ يَجُزِ الْحُكْمُ بِالتَّشْبِيهِ وَالنَّظِيرِ كَانَ مَنْ بَلَغَ ثَلَاثِينَ سَنَةً وَلَمْ يَحْتَلِمْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الِاسْتِئْذَانُ، وَهَذَا كَخَبَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ» , قَالَ فِي الْخَبَرِ: «وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ» , وَمَنْ لَمْ يَحْتَلِمْ وَبَلَغَ مِنَ السِّنِّ مَا يَكُونُ إِدْرَاكًا مِنْ غَيْرِ احْتِلَامٍ فَالْقَلَمُ عَنْهُ غَيْرُ مَرْفُوعٍ , إِذِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا أَرَادَ بِقَوْلِهِ: «حَتَّى يَحْتَلِمَ» : أَنَّ الِاحْتِلَامَ بُلُوغٌ , فَمَتَى كَانَ الْبُلُوغُ - وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ احْتِلَامٍ - فَالْحُكْمُ عَلَيْهِ , وَالْقَلَمُ جَارٍ عَلَيْهِ , كَمَا يَكُونُ بَعْدَ الِاحْتِلَامِ
Shahih Ibnu Khuzaimah 1719: Zakaria bin Yahya bin Aban Al Mishriy memberitakan kepada kami, Yahya bin Bukair memberitakan kepada kami, Al Mufadhdhal bin Fudhala memberitakan kepada kami, Ayyasy bin Abbas memberitakan kepada kami, Ha, Muhammad bin Ali bin Hamzah memberitakan kepada kami, Yazid bin Khalid yaitu Ibnu Mauhib memberitakan kepada kami, Al Mufadhdhal bin fudhala memberitakan kepada kami, Ayyasy bin Abbas Al Quthbani memberitakan kepada kami, dari Bukair bin Abdullah bin Al Asyaj, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Hafshah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang telah bersabda, "Bagi setiap orang yang telah bermimpi, maka ia harus melaksanakan shalat jum'at. Dan bagi orang yang pergi untuk shalat jum'at, maka ia harus mandi terlebih dahulu." Abu Bakar berkata, "Redaksi hadits yang menyatakan 'Bagi setiap orang yang telah bermimpi, maka ia harus melaksanakan shalat jum’at’ adalah termasuk lafadz yang kami maksudkan bahwa apabila sebuah perintah itu ada alasannya, maka boleh dijadikan qiyas. Apabila illatnya itu ada, maka perintahnya merupakan suatu kewajiban. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengajarkan bahwasanya bagi setiap orang yang telah bermimpi itu harus pergi melaksanakan shalat jum’at. Oleh karena itu, bermimpi merupakan suatu tanda kedewasaan. Namun demikian, manakala orang telah mencapai dewasa tetapi ia belum pernah bermimpi, maka sebenarnya ia pun wajib melaksanakan shalat jum’at. Dengan demikian, shalat jum’at itu merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang yang telah baligh (dewasa) meskipun ia belum bermimpi. Menurut orang-orang yang berbeda pendapat dengan kami dalam masalah pengqiasan, maka mereka akan menduga bahwasanya perintah itu bukan karena adanya alasan tetapi hanya sekedar peribadatan semata. Oleh karena itu, menurut mereka, seseorang yang telah berusia dua puluh atau tiga puluh tahun, merdeka, berakal, dan mendengar adzan baik itu di kampungnya ataupun ia tengah berada di depan pintu masjid, maka ia tidak wajib pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, karena ia belum bermimpi. Dalihnya, masih menurut mereka, Rasulullah telah mengajarkan bahwasanya shalat jum’at itu hanya wajib bagi orang yang telah bermimpi. Terkadang ada orang yang hidup puluhan tahun lamanya. Akan tetapi, ia sendiri belum pernah bermimpi sama sekali. Ini sebenarnya sama seperti firman Allah , "Apabila anak-anakmu telah bermimpi (mencapai dewasa), maka mereka harus meminta izin terlebih dahulu sebagaimana orang-orang sebelum mereka itu telah meminta izin". Allah memerintahkan orang yang telah bermimpi (mencapai dewasa) itu untuk meminta izin sebelum masuk ke kamar orangtuanya. Karena bermimpi itu merupakan salah satu tanda kedewasaan. Seandainya menetapkan sesuatu hukum dengan penyerupaan itu tidak dibolehkan, maka orang yang telah berusia tiga puluh tahun dan belum bermimpi tidak diwajibkan untuk meminta izin manakala ingin masuk ke kamar orangtuanya. Hal ini tentunya selaras dengan hadits Nabi yang berbunyi, 'Kesalahan itu dapat dimaafkan atas tiga golongan...' dan salah satunya adalah berbunyi: 'dan atas anak kecil hingga ia bermimpi (mencapai dewasa). Namun demikian, orang dewasa yang belum pernah bermimpi, maka kesalahannya tidak dapat dimaafkan. Karena yang dimaksudkan oleh Rasulullah dengan kata-kata '...hingga ia bermimpi’ adalah bahwa mimpi itu merupakan salah satu tanda kedewasaan. Jika seseorang telah dewasa, tetapi ia belum pernah bermimpi, maka hukum tetap berlaku pada dirinya."
Shahih Ibnu Khuzaimah Nomer 1719