بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا ﴿١٩﴾
yā ayyuhallażīna āmanụ lā yaḥillu lakum an tariṡun-nisā`a kar-hā, wa lā ta'ḍulụhunna litaż-habụ biba'ḍi mā ātaitumụhunna illā ay ya`tīna bifāḥisyatim mubayyinah, wa 'āsyirụhunna bil-ma'rụf, fa ing karihtumụhunna fa 'asā an takrahụ syai`aw wa yaj'alallāhu fīhi khairang kaṡīrā
Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (19)
وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا ﴿٢٠﴾
wa in arattumustibdāla zaujim makāna zaujiw wa ātaitum iḥdāhunna qinṭāran fa lā ta`khużụ min-hu syai`ā, a ta`khużụnahụ buhtānaw wa iṡmam mubīnā
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (20)
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا ﴿٢١﴾
wa kaifa ta`khużụnahụ wa qad afḍā ba'ḍukum ilā ba'ḍiw wa akhażna mingkum mīṡāqan galīẓā
Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu. (21)
وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَاۤؤُكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّمَقْتًاۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا ﴿٢٢﴾
wa lā tangkiḥụ mā nakaḥa ābā`ukum minan-nisā`i illā mā qad salaf, innahụ kāna fāḥisyataw wa maqtā, wa sā`a sabīlā
Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (22)
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔ ﴿٢٣﴾
ḥurrimat 'alaikum ummahātukum wa banatukum wa akhawātukum wa 'ammātukum wa khālātukum wa banatul-akhi wa banatul-ukhti wa ummahātukumullātī arḍa'nakum wa akhawātukum minar-raḍā'ati wa ummahātu nisā`ikum wa raba`ibukumullātī fī ḥujụrikum min-nisā`ikumullātī dakhaltum bihinna fa il lam takụnụ dakhaltum bihinna fa lā junāḥa 'alaikum wa ḥalā`ilu abnā`ikumullażīna min aṣlābikum wa an tajma'ụ bainal-ukhtaini illā mā qad salaf, innallāha kāna gafụrar raḥīmā
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (23)
Al-Bukhari, Abu Dawud, dan an-Nasa’i meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Dulu jika seseorang meninggal dunia maka para walinya melupakan orang-orang yang lebih berhak terhadap bekas istri-istri mereka dari pada keluarga para wanita itu sendiri. Sebagian mereka ada yang menikahinya, ada juga yang menikahkannya dengan orang lain. Lalu turunlah firman Allah ini.”
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanad hasan bahwa Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif berkata, “Ketika Abu Qais ibnul Aslat meninggal dunia, anaknya ingin menikahi bekas istrinya. Hal ini memang kebiasaan orang-orang pada masa jahiliah. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘.. . Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa (an-Nisaa’: 19)’ Riwayat ini mempunyai penguat dari Ikrimah dari Ibnu Jarir.
Ibnu Abi Hatim, al-Faryabi, dan ath-Thabrani meriwayatkan dari Adi bin Tsabit bahwa seorang Anshar berkata, “Abu Qais adalah salah seorang Anshar yang shaleh. Ketika dia meninggal dunia, anaknya melamar bekas istrinya. Wanita itu berkata, ‘Saya menganggapmu sebagai anak sendiri dan di kaummu engkau termasuk orang yang saleh.’ Lalu wanita itu mendatangi Nabi saw. dan memberi tahu beliau tentang hal itu. Lalu Rasululiah saw. memerintahkannya untuk kembali ke rumahnya. Lalu turunlah firman Allah, ‘Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau....” (an-Nisaa”: 22)
Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa Muhammad bin Ka’b al-Qarzhi berkata, “Dulu, jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, maka anaknya lebih berhak untuk menikahi bekas istrinya itu jika bukan ibunya sendiri, atau jika dia mau dia bisa menikahkannya dengan orang lain. Ketika Abu Qais meninggal dunia, anaknya, Muhshan, mewarisi hak untuk menikahi bekas istrinya dan tidak memberikan warisan harta kepada bekas istri ayahnya itu. Lalu wanita itu mendatangi Nabi saw. dan menyampaikan kepada beliau tentang hal itu. Maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya kembalilah ke rumahmu, semoga Allah menurunkan sesuatu padamu.’ Lalu turunlah firman Allah ta’ala, ‘Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau.” (an-Nisaa’: 22) Dan turun juga, “Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan paksa.” (an-Nisaa’: 19)
Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan bahwa az-Zuhri berkata, “Ayat ini turun pada beberapa orang Anshar. Ketika itu jika seseorang dari mereka meninggal dunia, orang yang paling berhak terhadap bekas istrinya adalah walinya. Lain walinya itu menjadikan bekas istrinya tersebut ikut dengannya hingga meninggal dunia.”
lbnu Jarir juga meriwayatkan bahwa Ibnu Juraij berkata, “Pada suatu hari saya bertanya kepada Atha’ tentang firman Allah, ‘...(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungrnu (menantu) ,...” (an-Nisaa’: 23). Dia menjawab, “Kami pernah berbincang-bincang bahwa ayat ini turun pada Nabi Muhammad saw. ketika menikahi istri Zaid bin Haritsah.” Ketika itu orang-orang musyrik mengejek beliau karena hal itu. Maka turun firman Allah, ‘.. . (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu),...” (an-Nisaa’: 23) Dan turun juga, “...dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)...” (al-Ahzaab : 4) Dan turun pula, ‘Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu,...” (al-Ahzaab: 40)