بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
۞ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ﴿٢٤﴾
wal-muḥṣanātu minan-nisā`i illā mā malakat aimānukum, kitāballāhi 'alaikum, wa uḥilla lakum mā warā`a żālikum an tabtagụ bi`amwālikum muḥṣinīna gaira musāfiḥīn, fa mastamta'tum bihī min-hunna fa ātụhunna ujụrahunna farīḍah, wa lā junāḥa 'alaikum fīmā tarāḍaitum bihī mim ba'dil-farīḍah, innallāha kāna 'alīman ḥakīmā
Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (24)
Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i meriwayatkan bahwa Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Kami mendapatkan para tawanan wanita dari Authas yang mempunyai suami. Dan kami merasa tidak enak untuk menggauli mereka karena status mereka tersebut. Kami pun bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Lalu turunlah firman Allah, ‘Dan (dihararnkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki..” Maksudnya, ‘Kecuali para wanita yang kalian peroleh dari berperang.’ Dengan itu mereka pun menjadi halal untuk kami gauli.”
Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun ketika perang hunain. Ketika itu muslimin mendapatkan tawanan para wanita Ahli Kitab yang masih mempunyai suami. Ketika mereka akan didatangi, mereka berkata,”Saya masih bersuami.’ Rasulullah saw. pun ditanya tentang hal itu. Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ma’mar bin Sulaiman bahwa ayahnya berkata, “Seorang Hadhrami mengatakan bahwa para lelaki dulu menetapkan atas dirinya untuk membayar mahar dalam jumlah tertentu. kemudian terkadang ia kesulitan untuk membayarnya. Maka turunlah firman Allah, ‘...dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.” (an-Nisaa’: 24)